Contoh Kasus : Lumpur Panas Lapindo dinilai Melanggar
Etika Bisnis
Musibah banjir lumpur panas sidoarjo atau seing
disebut dengan Lumpur Lapindo, merupakan peristiwa menyemburnya lumpur panas di
lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc di Dusun Balongnongo Desa Renokenongo,
Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak 29 Mei 2006.
Lokasi
semburan lumpur ini berada di Porong, yakni kecamatan di bagian selatan
Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 km sebelah selatan kota Sidoarjo. Kecamatan ini
berbatasan dengan Kecamatan Gempol (kabupaten Pasuruan) di sebelah selatan.
Lokasi pusat
semburan hanya berjarak 150 meter dari sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), yang
merupakan sumur eksplorasi gas milik Lapindo Brantas Inc sebagai operator blok
Brantas. Lokasi semburan lumpur tersebut merupakan kawasan pemukiman dan di
sekitarnya merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur. Tak jauh
dari lokasi semburan terdapat jalan tol Surabaya-Gempol, jalan raya
Surabaya-Malang dan Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi (jalur pantura timur), serta
jalur kereta api lintas timur Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi,
Indonesia.
Penyebab Terjadinya Bencana
Menurut Para Ahli
Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Ilmuwan dari berbagai negara menyimpulkan
bahwa luapan lumpur adalah akibat dari proses pengeboran eksplorasi gas yang
dilakukan PT. Lapindo Brantas.
Tim yang
dipimpin oleh Richard Davies dari Universitas Durham, Inggris, itu menyatakan,
data yang dirilis Lapindo yang menjadi dasar bukti baru timnya bahwa pengeboran
menyebabkan luapan lumpur.
“Kami
menemukan laporan harian salah satu titik pengeboran yang menyatakan Lapindo
sempat memompakan kembali lumpur galiannya untuk menghentikan luapan lumpur.
Upaya itu menunjukkan beberapa keberhasilan dan membuat luapan lumpur
melambat,” ujar Davies. Dari data tersebut Davies dan timnya menemukan
bukti baru.
“Fakta bahwa
luapan lumpur melambat menjadi bukti bahwa lubang pengeboran memang terhubung
dengan sumber luapan lumpur,” ungkap Davies. Hal ini diperkuat oleh ungkapan
anggota tim asal Universitas Curtin, Australia, Mark Tingay, yang menyatakan
bahwa luapan lumpur diakibatkan oleh gempa bumi adalah tidak masuk akal.
“Gempa bumi yang mereka (pihak Lapindo) klaim sebagai penyebab utama luapan
lumpur hanya memiliki dampak sepele. Alasannya, gempa bumi terjadi di
Yogyakarta dua hari sebelum lumpur meluap, dan jauh dari lokasi luapan lumpur,
yakni sekitar 250 km di sebelah barat daya titik luapan,” ujar Tingay.
Dan melalui serangkaian
konferensi internasional yang diselenggarakan oleh pihak yang netral, diperoleh
hasil akhir bahwa kesalahan operasi Lapindo dianggap para ahli sebagai penyebab
semburan Lumpur panas di Sidoarjo.
Akan tetapi
pihak Lapindo dan beberapa geolog menganggap bahwa semburan Lumpur diakibatkan
oleh gempa bumi Yogyakarta yang terjadi dua hari sebelum Lumpur menyembur pada
tanggal 29 Mei 2006.
Sementara
sebagian ahli menganggap bahwa hal itu tidak mungkin karena jarak yang terlalu
jauh dan skala gempa yang terlalu kecil. Mereka, melalui berbagai penerbitan di
jurnal ilmiah yang sangat kredibel, justru menganggap dan menemukan fakta bahwa
penyebab semburan adalah kesalahan operasi yang dilakukan oleh Lapindo. Lapindo
telah lalai memasang casing, dan gagal menutup lubang sumur ketika terjadi loss
dan kick, sehingga Lumpur akhirnya menyembur. (Ketika Lapindo mengebor lapisan
bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka “belum” memasang
casing 9-5/8 inchi) Puluhan ahli datang dari seluruh penjuru dunia membahas
enam makalah tentang masalah Lapindo yang dipaparkan oleh para presenter, baik
dari pihak Lapindo maupun para pakar independen. Dan karena para ahli yang
berada di pihak Lapindo tetap berkeras dengan pendirian mereka, untuk
memperoleh kepastian pendapat dari para ahli dunia tersebut dengan cara voting,
menggunakan metoda langsung angkat tangan. Hasilnya, tidak diragukan lagi
bahwa sebagian besar peserta yang hadir berpendapat bahwa penyebab semburan
adalah karena pengeboran yang disebabkan oleh Lapindo.
Hasil konferensi ini mestinya cukup untuk meyakinkan publik, pemerintah,
dan penegak hukum di Indonesia bahwa Lapindo merupakan pihak yang harus
bertanggung jawab dalam Bencana ini.
Kesimpulan
ini juga diharapkan bisa segera menghentikan berbagai upaya Lapindo untuk
menghindar dari kewajiban, serta segera memenuhi hak dari korban Lumpur.
Dampak Semburan Lumpur Lapindo
Semburan
lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi
aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Luapan lumpur terjadi pertama kali pada
2006 hingga kini telah memaksa sekitar 60 ribu orang mengungsi. Tidak hanya
itu, masih banyak dampak lain yang timbul akibat bencana ini, diantaranya
adalah :
- Lumpur menggenangi 16 desa di tiga kecamatan. Semula hanya menggenangi empat desa dengan ketinggian sekitar 6 meter, yang membuat dievakuasinya warga setempat untuk diungsikan serta rusaknya areal pertanian. Luapan lumpur ini juga menggenangi sarana pendidikan dan Markas Koramil Porong. Hingga bulan Ahustus 2006, luapan lumpur ini telah menggenangi sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak 25.000 jiwa mengungsi. Karena tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur.
- Lahan dan ternak yang tercatat terkena dampak lumpur hingga Agustus 2006 antara lain: lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo, Jatirejo dan Kedungcangkring; lahan padi seluas 172,39 ha di Siring, Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan Pejarakan Jabon; serta 1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang.
- Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini.
- Empat kantor pemerintah juga tak berfungsi dan para pegawai juga terancam tak bekerja.
- Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil Porong, serta rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon)
- Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur dan rusak sebanyak 1.683 unit. Rinciannya: Tempat tinggal 1.810 (Siring 142, Jatirejo 480, Renokenongo 428, Kedungbendo 590, Besuki 170), sekolah 18 (7 sekolah negeri), kantor 2 (Kantor Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15, masjid dan musala 15 unit.
- Kerusakan lingkungan terhadap wilayah yang tergenangi, termasuk areal persawahan
- Pihak Lapindo melalui Imam P. Agustino, Gene-ral Manager PT Lapindo Brantas, mengaku telah menyisihkan US$ 70 juta (sekitar Rp 665 miliar) untuk dana darurat penanggulangan lumpur.
- Akibat amblesnya permukaan tanah di sekitar semburan lumpur, pipa air milik PDAM Surabaya patah.
- Meledaknya pipa gas milik Pertamina akibat penurunan tanah karena tekanan lumpur dan sekitar 2,5 kilometer pipa gas terendam.
- Ditutupnya ruas jalan tol Surabaya-Gempol hingga waktu yang tidak ditentukan, dan mengakibatkan kemacetan di jalur-jalur alternatif, yaitu melalui Sidoarjo-Mojosari-Porong dan jalur Waru-tol-Porong. Penutupan ruas jalan tol ini juga menyebabkan terganggunya jalur transportasi Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi serta kota-kota lain di bagian timur pulau Jawa. Ini berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.
- Tak kurang 600 hektar lahan terendam.
- Sebuah SUTET milik PT PLN dan seluruh jaringan telepon dan listrik di empat desa serta satu jembatan di Jalan Raya Porong tak dapat difungsikan.
- Berubahnya suhu udara yang semakin panas, yang bercampur bau lumpur.
- Mayoritas warga sekitar lumpur kini begitu akrab dengan sesak nafas dan batuk. Sekalipun belum ada korban meninggal akibat ISPA, namun batuk ‘jamaah’ yang diidap warga sulit untuk disebut wajar.
- Pencemaran air di kawasan sekitar bencana yang menyebabkan air menjadi tidak layak lagi dikonsumsi. Akibatnya warga terpaksa membeli air bersih dari sumber mata air Prigen yang dijual perusahaan pengangkut air dengan harga Rp. 1500 per curigen (25 liter).
- Pengangguran massal yang mengancam masa depan warga.
- Sejumlah warga merelakan anaknya tidak sekolah akibat sulitnya mendapatkan pekerjaan baru. Tingkat pendidikan rendah menjadi penghalang selanjutnya. Sayangnya disituasi rumit ini warga tak disiapkan pekerjaan oleh Lapindo Berantas, dan nyaris di campakkan pemerintahan yang berkuasa.
Sementara itu dalam metrotvnews.com (Sabtu, 13 Februari 2010) menyebutkan bahwa pihak
Lapindo membantah kegiatan pengeboran
yang dilakukannya merupakan penyebab luapan lumpur yang tak kunjung berhenti
itu. Menurut Lapindo, gempa bumilah yang menjadi penyebab luapan lumpur.
Lapindo bahkan menyatakan bahwa hasil penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan
tidak memiliki dasar yang kuat.
“Mereka (peneliti) tidak memiliki data yang lengkap. Tidak ada hubungan
antara luapan lumpur dengan Lapindo,” ujar Wakil Direktur Utama PT. Lapindo,
Yuniwati Teryana.
Sikap Lapindo tersebut kemudian didukung keputusan Mahkamah Agung pada tahun 2009 yang membebaskan Lapindo dari segala tuntutan karena dianggap bertanggung jawab terhadap luapan lumpur. Kepolisian pun kini telah menghentikan penyelidikan atas kasus tersebut.
Sikap Lapindo tersebut kemudian didukung keputusan Mahkamah Agung pada tahun 2009 yang membebaskan Lapindo dari segala tuntutan karena dianggap bertanggung jawab terhadap luapan lumpur. Kepolisian pun kini telah menghentikan penyelidikan atas kasus tersebut.
Sumber: klik di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar