3/01/2011

SEJARAH HAM


Konsep HAM yang sekarang ini diakui oleh PBB berasal dari sejarah pergolakan sosial di Eropa. Piagam Magna Charta (Inggris) pada tahun 1215 membentuk suatu kekuasaan monarki yang terbatas. Hukum mulai berlaku tidak hanya untuk rakyat, akan tetapi juga berlaku untuk para bangsawan dan keluarga kerajaan. Piagam Magna Carta atau disebut juga Magna Carta Libertatum (The Great Charter of Freedoms) dibuat di masa pemerintahan Raja John (King John of England) yang berlaku bagi raja-raja Inggris yang berkuasa berikutnya.

Sejarah lahirnya HAM sesungguhnya sudah lama lahir jauh sebelum keluarnya Piagam Magna Carta. Agama yang dibawa oleh nabi-nabi di masa lalu sudah menuliskan dan sekaligus mengkonsepkan HAM dan pelaksanaannya di dalam kitab suci. Seluruh bangsa di dunia ini yang melahirkan agama ataupun kepercayaan dan memiliki kitab sesungguhnya pula menuliskan sendiri konsep HAM maupun pelaksanaannya. Piagam Magna Carta lahir sendiri lahir dari pandangan konsep HAM dari kelompok agama (gereja) di Inggris. Demikian pula halnya dengan sebagian negara yang memiliki ideologi khas seperti Indonesia sudah terlebih dahulu menuliskan konsep HAM dan pelaksanaannya.

Konsep mengenai HAM mulai diperbincangkan dan dibahas kembali setelah berkecamuknya perang di Eropa (Perang Dunia I dan II). Dasar pemikiran HAM ketika itu dilandasai oleh kekuasaan yang membatasi dan menghilangkan sejumlah hak-hak dasar manusia selama Perang Dunia II. Pihak sekutu mempermasalahkan bentuk kekejaman kekuasaan Hitler yang ketika itu melakukan tindakan Genocide atau pemusnahan ras secara massal. Berakhirnya Perang Dunia II di Eropa pada tahun 1948 (paska kekalahan Jerman atas sekutu) kemudian dijadikan sebagai momentum dideklarasikannya konsep HAM yang dikenal “The Universal Declaration of Human Rights” yang selanjutnya menjadi asas dibentuknya organisasi PBB.




HAM Paska Perang Dunia I
Kita akan mundur beberapa tahun dari tahun dibentuknya deklarasi HAM pada tahun 1948 ke tahun berakhirnya Perang Dunia I. Pihak Jerman sebagai pihak yang dianggap kalah perang pada Perang Dunia I dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Versailles. Berdasarkan perjanjian ini, Jerman mendapatkan hukuman untuk diblokade atau di-embargo secara ekonomi oleh negara-negara sekutu (pemenang perang). Jika saja perekonomian suatu negara akan terkena imbas dari dampak perang, maka ini masih ditambahkan lagi dengan embargo paska Perjanjian Versailles. Inflasi tinggi dan tidak terkendali (hyper inflation) tercatat berlangsung dari tahun 1923 hingga 1924. Jika Indonesia dulu pernah melakukan apa yang disebut dengan pengguntingan mata uang, maka Jerman paska PD I melakukan pembakaran uang seperti foto di samping ini. Ketidakseimbangan dalam perekonomian yang selanjutnya membentuk inflasi tinggi dikarenakan dampak dari embargo negara-negara sekutu melalui Perjanjian Versailles (1919). Embargo ekonomi bukan membuat Jerman lebih menghargai perdamaian, akan tetapi justru malah menjadi salah satu penyulut Perang Dunia II. Salah satu alasan Hitler jika dikatakan memulai Perang Dunia II adalah untuk menaklukkan dominasi negara-negara sekutu terhadap Jerman.

Pakta Versailles (The Versailles Treaty) adalah aspek politik yang nampaknya tidak mendapatkan perhatian ketika diwujudkannya Deklarasi HAM tahun 1948. Sebagai pihak pemenang perang, tentunya sekutu tidak mungkin akan mengungkit soal Pakta Versailles. Sekalipun Bangsa Jerman termasuk di dalam sejarah peradaban Eropa, akan tetapi Deklarasi HAM yang menjadi dasar dibentuknya PBB tidak bisa dipaksakan begitu saja ke semua bangsa, termasuk kepada Bangsa Jerman sendiri.

Sekalipun Universal, Tapi Memiliki Batasan
Pada prinisipnya, setiap bangsa memiliki sendiri konsep HAM yang sesungguhnya tidak berbeda dengan konsep HAM yang didklarasikan pada tahun 1948. Seiring dengan berjalannya waktu, setiap bangsa menciptakan sendiri konsep HAM dan pelaksanaannya ke dalam bentuk hukum adat ataupun bentuk hukum tertulis (seperti perundang-undangan). Pelaksanaannya sendiri tidaklah sama antara satu bangsa dan bangsa-bangsa yang lainnya. Misalnya, sekalipun dua negara seperti Spanyol dan Turki didominasi budaya Islam, akan tetapi sejarah di antara kedua bangsa ini sangat berbeda. Perbedaan inilah yang selanjutnya juga diikuti dengan perbedaan pelaksanaan HAM di kedua negara. Sama halnya dengan pelaksanaan HAM pada bangsa-bangsa lainnya di dunia.

Pengertian universal di sini tidak boleh diartikan sebagai bentuk alasan untuk melakukan suatu pemaksaan kehendak. Sejarah masa lalu dan kultur suatu bangsa hendaknya terlebih dahulu dihormati sebagai unsur pembentuk perilaku bangsa tersebut. Perlu diakui jika penyamaan persepsi tentang HAM tidaklah mudah. Segala bentuk perbedaan kepentingan bisa mengarah pada terciptanya situasi yang justru jauh dari apa yang diharapkan dengan terwujudnya HAM. Setiap budaya yang lahir dan berkembang di dalam suatu bangsa memiliki cara pandang sendiri yang selanjutnya menciptakan nilai-nilai HAM pada bangsa tersebut. Butir-butiri pelaksanaan HAM yang dikenal “The Universal Declaration of Human Rights” oleh PBB tercipta dari kultur budaya di Eropa. Di sinilah batasan-batasan yang perlu diperhatikan ketika hendak menyamakan persepsi HAM.

Pengetahuan tentang HAM di Indonesia masih tergolong baru, sekalipun negeri ini sudah merdeka belum lama setelah dibentuknya PBB. Ideologi dasar yang dimiliki Bangsa Indonesia, yaitu Pancasila sesungguhnya pula sudah mengandung unsur-unsur yang terdapat pada “The Universal Declaration of Human Rights”. Jika saja nilai-nilai ideologi yang kemudian diserap sebagai butir-butir HAM sesungguhnya belum lama diketahui. Sejarah masa lalu paska kemerdekaan 1945 yang dipenuhi dengan gejolak politik di dalam negeri menyebabkan keterbatasan penyerapan nilai-nilai HAM. Pergantian politik paska revolusi 1965 selanjutnya menyebabkan Bangsa Indonesia masuk ke dalam suatu rezim kekuasaan yang sama sekali tidak mengkedepankan nilai-nilai HAM. Istilah HAM sendiri sesungguhnya baru dikenal setelah J.P. Pronk (Menkeu Belanda) memaksakan pelaksanaan HAM ke dalam paket bantuan luar negeri. Sekali lagi, Soeharto sebagai penguasa rezim ketika itu menolak paket bantuan yang dimuati pelaksanaan HAM. Baru setelah jatuhnya rezim Soeharto, istilah HAM mulai dipopulerkan kembali, bahkan telah dibentuk ke dalam kementrian dan departemen yang kemudian dikenal Departemen Hukum dan HAM (DepkumHAM). Sekalipun demikian, pelaksanaan HAM di Indonesia masih membutuhkan waktu yang panjang seiring dengan perubahan politik yang terjadi paska reformasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar